Winter in Tokyo
Ilana Tan
For that one person who’s been such a great help...
Thank you...
Prolog
IA menyesap minumannya pelan dan memandang ke luar jendela. Salju mulai turun
lagi. Ia berdiri di sana beberapa saat, memandangi butiran salju yang melayang-layang
di luar.
Ada yang hilang.
Keningnya berkerut samar. Tentu saja ada yang hilang. Ia tahu benar ada sesuatu
yang hilang. Hanya saja ia tidak tahu apa yang hilang itu. Dan apakah sesuatu yang
hilang itu penting atau tidak.
Ia menarik napas dalam-dalam. Yah... mungkin bukan sesuatu yang penting.
Ia berputar membelakangi jendela dan memandang ke sekeliling ruangan. Aula
besar itu mulai ramai. Orang-orang terlihat gembira, saling tersenyum, tertawa, dan
mengobrol. Seorang kenalannya tersenyum dan melambai ke arahnya. Ia balas
tersenyum dan mengangkat gelas.
Tepat pada saat itulah ia melihat orang itu.
Orang itu baru memasuki ruangan. Matanya tidak berkedip mengamati orang itu
menyalami beberapa orang sambil tersenyum lebar. Aneh... Ia menyadari dirinya tidak
bisa mengalihkan pandangan.
Ia melihat orang itu mengambil segelas minuman dari meja bulat bertaplak putih
sambil bercakap-cakap dengan seseorang yang berdiri di sampingnya. Kemudian orang
itu mengangkat wajah dan memandang ke seberang ruangan. Tepat ke arahnya.
Mata mereka bertemu dan waktu serasa berhenti.
Aneh sekali. Otaknya tidak mengenal orang itu. Ia yakin ia tidak mengenal orang
itu. Tetapi kenapa sepertinya hatinya berkata sebaliknya?
Kenapa hatinya seakan berkata padanya bahwa ia merindukan orang itu?
Satu
MUSIM dingin sudah tiba dan menyelimuti kota Tokyo. Angin bertiup agak kencang
malam ini. Ishida Keiko mengibaskan rambut panjangnya ke belakang agar tidak
menghalangi pandangan sementara ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi yang
mengarah ke gedung apartemennya. Ia menggigil karena rasa dingin mulai menembus
jaket dan sweter tebalnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah, minum secangkir
cokelat panas, dan makan ramen1. Memikirkannya saja sudah membuat perut
keroncongan. Dingni-dingin begini memang paling enak...
“Hei!”
Keiko terlompat kaget dan berputar cepat. Matanya terbelalak menatap wanita
dengan rambut pendek dicat pirang manyala yang sudah berdiri di sampingnya. Begitu
mengenali wanita itu sebagai Sato Haruka, tetangganya yang tinggal di apartemen
lantai bawah, Keiko menghembuskan napas lega.
“Haruka Oneesan2,” Keiko mendesah sambil memegang dada. “Oneesan
membuatku terkejut setengah mati.”
Sato Haruka mendecakkan lidah dan tersenyum lebar. “Kau terlalu gampang terkejut.”
“Oneesan tahu aku selalu merasa waswas kalau berjalan sendirian di jalan sepi,”
kata Keiko. “Dan aku punya alasan bagus untuk itu.”
“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf. Ayo, cepat. Aku sudah hampir beku,” kata
Haruka sambil menggandeng lengan Keiko. “Kelihatannya barang bawaanmu banyak
sekali. Kau bawa buku lagi hari ini?”
1 Mi Jepang yang berbentuk tipis, berbeda dengan udon yang bentuknya lebih bulat dan besar.
2 Panggilan untuk wanita yang lebih tua, kakak.
Keiko mengeluarkan dua buku dari tas tangannya yang superbesar. Dua-duanya
buku klasik terkenal. “Dua buku ini baru masuk hari ini, jadi aku orang pertama yang
membacanya.”
Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di Shinjuku dan ia sangat menyukai
pekerjaannya. Sejak kecil ia memang sangat gemar membaca buku dan impiannya
adalah bekerja di perpustakaan, tempat ia bisa membaca buku sepuas hatinya, tanpa
gangguan, dan tanpa perlu mengeluarkan uang.
“Oneesan mau membacanya?” tanyanya pada Haruka yang menatap kedua buku
itu dengan kening berkerut. “Akan kupinjamkan kalau aku sudah selesai.”
Alis Haruka terangkat tinggi dan ia melotot ke arah Keiko. “Buku bahasa Inggris?
Yang benar saja,” katanya. “Kau tahu benar bahasa Inggris-ku sekadar yes, no, thank you,
I love you. Terlebih lagi, aku tidak suka membaca buku. Otakku yang sederhana ini
hanya bisa memahami manga3.”
Keiko tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan. “Hari ini Oneesan pulang terlambat,”
katanya.
Haruka mengangguk. “Ya, tadi ada janji dengan teman,” sahutnya ringan. “Oh,
Tomoyuki pasti hampir mati kelaparan sekarang. Dia sudah meneleponku sejak tadi
dan bertanya kapan aku pulang. Entah kapan anak itu bisa dewasa dan berhenti
merecoki kakaknya ini. Aku sudah tidak sabar menunggunya lulus kuliah dan menjadi
pengacara. Saat itu aku yang akan merecokinya.”
Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan gedung apartemen mereka.
Sebenarnya bangunan yang disebut-sebut sebagai gedung apartemen itu tidak benar-
benar mirip gedung apartemen dalam bayangan kebanyakan orang. Gedung itu hanya
bangunan tua tingkat dua berukuran kecil. Setiap lantainya memiliki dua apartemen
yang berhadapan. Tidak ada lift, hanya ada tangga yang tidak terlalu lebar.
Di lantai dasar, apartemen 101 ditempati oleh sepasang suami-istri tua bernama
Osawa, yang sekaligus merupakan penanggung jawab gedung. Apartemen di seberang mereka, nomor 102 ditempati oleh kakak-beradik Sato. Sato Haruka berumur 28
tahun—tiga tahun lebih tua daripada Keiko—dan bekerja sebagai penata rambut di
Harajuku, sedangkan adik laki-lakinya, Sato Tomoyuki, adalah mahasiswa jurusan
hukum.
Keiko sendiri menempati apartemen 202 di lantai dua. Apartemen 201 saat ini
kosong. Saat Keiko pertama kali pindah ke gedung apartemen ini lima tahun yang lalu,
penghuni apartemen 201 adalah seorang arsitek muda yang sudah cukup lama tinggal
3 komik
di sana, kemudian tahun lalu sepasang suami-istri muda menggantikan si arsitek.
Pasangan suami-istri itu menempati apartemen di seberang apartemen Keiko selama
setahun dan bulan lalu mereka memutuskan untuk membeli rumah kecil kemudian
pindah.
Walaupun gedung itu sudah tua, kondisi apartemen di sana sama sekali tidak
buruk. Ruangannya cukup luas kalau dibandingkan dengan apartemen lain pada
umumnya, fasilitasnya memadai, dan biaya sewanya termasuk murah. Tidak mungkin
menemukan apartemen seperti itu di pusat kota Tokyo.
Setiap apartemen di sana memiliki susunan yang sama: dapur, ruang duduk yang
mengarah ke balkon sempit yang berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian, satu
bilik kecil khusus untuk kloset, satu kamar mandi kecil yang dilengkapi dengan mesin
pemanas air, dan dua kamar tidur yang juga berukuran kecil. Apartemen 101 dan 201
memiliki balkon menghadap ke utara, sedangkan balkon apartemen 102 dan 202
menghadap ke selatan. Selain itu semua penghuni apartemen di sana adalah orang-
orang yang menyenangkan dan Keiko sudah menganggap mereka seperti keluarga
sendiri.
Ketika mereka tiba di depan pintu apartemen 102, Haruka berbalik menghadap
Keiko. “Oh ya, apakah aku sudah tahu penyewa baru apartemen 201 sudah datang?”
Mata Keiko melebar. “Benarkah?”
Haruka mengangguk. “Aku sendiri belum pernah melihat orang baru itu, tapi
Tomoyuki melihatnya tadi pagi.”
“Laki-laki?” tanya Keiko.
Haruka mengangguk lagi. “Kata Tomoyuki, orang itu datang sendirian dan
langsung masuk ke apartemen 201. Tidak keluar lagi sejak saat itu. Aneh, bukan?”
Kening Keiko berkerut samar. “Bukankah Tomoyuki-kun pergi kuliah pagi tadi?
Bagaimana dia bisa tahu orang itu keluar lagi atau tidak?”
Haruka menggeleng dan mengibas-ngibaskan tangan. “Tomoyuki memang pergi kuliah, tapi Nenek masih ada di rumah saat itu,” katanya, merujuk pada Nenek Osawa
yang tinggal di seberang apartemennya. “Nenek juga tahu ada orang yang masuk ke
apartemen 201 tadi pagi dan sepanjang hari Nenek sudah memasang mata dan telinga.
Orang itu tidak keluar-keluar sampai sekarang.”
“Begitu?” gumam Keiko sambil merenung. “Mungkin Kakek Osawa tahu siapa
yang menyewa apartemen itu.”
“Kurasa tidak,” sahut Haruka. “Kata Nenek, orang yang sejak awal datang untuk
melihat keadaan apartemen dan mengurus semua tentang masalah sewa-menyewa
bukan laki-laki ini. Mungkin dia memakai jasa agen atau semacam itu.”
“Oh...”
Haruka mengeluarkan kunci pintu dari tas tangannya dan tersenyum. “Baiklah,
aku harus masuk dan memberi makan adikku yang manja itu. Selamat malam, Keiko.”
“Selamat malam.” Keiko melambaikan tangan dan bergegas menaiki tangga sambil
menggosok-gosok kedua tangannya yang terasa dingin walaupun sudah terbungkus
sarung tangan.
Ketika mencapai pintu apartemennya, ia berhenti lalu menoleh dan menatap pintu
apartemen 201. Keningnya berkerut. Ia sama sekali tidak mendengar suara apa pun
dari balik pintu. Benarkah sudah ada yang menyewa apartemen itu? Kenapa tidak ada
suara? Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalam.
Tiba-tiba pikiran buruk melintas dalam benak Keiko. Bagaimana kalau penyewa
baru itu jatuh sakit? Keiko cepat-cepat menggeleng untuk mengenyahkan gagasan itu.
Jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin saja orang itu sedang tidak ada di rumah.
Bisa saja orang itu keluar rumah ketika Nenek Osawa sedang tidak memerhatikan.
Tapi tetap saja ada kemungkinan penyewa baru itu benar-benar belum keluar sejak
pagi. Bagaimana kalau orang itu sakit dan terlalu lemah untuk bangun dari tempat
tidur? Bagaimana kalau orang itu tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong?
Bagaimana kalau orang itu menderita penyakit jantung dan sekarang sedang kesakitan?
Bagaimana kalau ia jatuh pingsan di dalam sana? Bagaimana kalau ia sedang sekarat?!
Keiko menggigil memikirkan kemungkinan itu. Kemudian ia menepuk pelan
kepalanya yang tertutup topi rajutan putih. Ah, tidak mungkin. Jangan berpikiran
buruk. Sejak kecil daya imajinasinya memang hebat karena terlalu banyak membaca
buku. Mungkin seharusnya ia menjadi penulis buku fantasi. Tapi...
Keiko maju selangkah mendekati pintu apartemen 201 dengan ragu-ragu. Ia menyapu poninya yang terpotong rapi dari kening dan menarik napas panjang.
Kemudian setelah membulatkan tekad, ia menempelkan telinga kanannya ke pintu
dengan hati-hati. Tidak terdengar apa-apa. Ia memutar kepalanya dan kali ini telinga
kirinya yang ditempelkan ke pintu. Masih tetap sunyi senyap di dalam sana.
Apakah ia harus memanggil Kakek Osawa? Rasanya tidak enak mengganggu
Kakek malam-malam begini. Tapi...
Keiko masih sibuk menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan ketika pintu itu
mendadak berayun terbuka dengan satu gerakan cepat, membuat kepalanya yang
masih menempel di daun pintu kehilangan sandaran dan tubuhnya jatuh ke depan. Ia
sempat memekik kaget sebelum jatuh terduduk di lantai batu yang dingin.
“Aduh, aduh, aduh... Kepalaku, aduh, pantatku...” Keiko mengerang sambil
mengusap sisi kepalanya, sama sekali tidak sadar bahwa ia mengerang dalam bahasa
ibunya.
Dua-tiga detik kemudian, Keiko tersadar kembali dan langsung mendongak.
Matanya terbelalak kaget, terpaku pada sosok jangkung yang berdiri di ambang pintu
apartemen 201 yang terbuka. Awalnya Keiko tidak bisa melihat dengan jelas sosok
yang berdiri di sana karena bagian dalam apartemen itu gelap gulita. Namun
kemudian ia bisa melihat lebih jelas ketika sosok itu maju selangkah dan sinar lampu di
koridor meneranginya.
Laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri di sana terlihat berantakan. Rambutnya yang
gelap awut-awutan, sweter hitam dan celana jins yang dikenakannya juga kelihatan
lusuh. Keiko tidak bisa menebak umur laki-laki itu karena penampilannya sungguh
kacau dan sepertinya ia belum bercukur hari ini. Keiko juga tidak bisa menebak apa
yang sedang dipikirkan orang itu. Terkejut? Heran? Marah?
Beberapa saat kemudian laki-laki itu berkata dengan nada rendah dan serak. “Kau
tidak apa-apa?”
Keiko tidak sempat menjawab, karena mendadak saja suasana menjadi heboh.
* * *
Nishimura Kazuto terbangun dengan kepala pusing dan badan kaku. Hal pertama
yang disadarinya adalah keadaan kamarnya yang gelap gulita. Ia melirik ke luar
jendela. Langit di luar gelap. Sudah malamkah? Jam berapa ini? Ia mengerang, lalu
memejamkan mata sejenak. Ia masih lelah sekali. Badannya menolak untuk bergerak.
Pelipisnya berdenyut-denyut. Penerbangan dari New York ke Tokyo menguras
tenaganya dan membuatnya jet-lag. Ia memang tidak pernah suka melakukan
penerbangan jauh.
Tenggorokannya kering. Ia harus minum sebelum tubuhnya dehidrasi. Kapan
terakhir kali ia minum? Ia tidak ingat. Mungkin sewaktu di pesawat.
Kazuto memaksa dirinya bangun dan duduk di tepi ranjang. Ia mengusap wajah
dengan kedua tangan untuk sedikit menyadarkan diri. Lalu perlahan ia bangkit dan
menyeret kakinya yang berkaus kaki tebal keluar dari kamar.
Sinar bulan dan lampu jalan yang masuk lewat pintu kaca balkon menerangi ruang
duduk. Penerangan remang-remang itu sudah cukup bagi Kazuto. Ia tidak mau
menyalakan lampu karena matanya bahkan belum terbiasa dengan penerangan samar
yang ada, apalagi sinar lampu yang terang benderang.
Ia haus dan ia baru menyadari bahwa perutnya juga lapar. Kapan terakhir kali ia
makan? Sewaktu di pesawat? Ia ingat ia hanya makan sedikit di pesawat karena sama
sekali tidak berselera. Pantas saja sekarang ia kelaparan.
Kazuto baru akan berjalan ke dapur ketika mendengar bunyi gemeresik samar di
luar pintu apartemennya. Ia menoleh dan melihat bayangan gelap terpantul dari bawal
celah pintu. Matanya menyipit. Ada orang di luar pintunya. Bayangan di bawah celah
pintu itu bergerak-gerak. Niat awalnya mencari minuman batal. Ia berbalik,
menghampiri pintu, dan memasang telinga.
Tidak terdengar suara orang berbicara, tapi sudah jelas ada orang yang berdiri di
luar sana. Tangannya terangkat ke pegangan pintu, lalu dengan satu sentakan cepat, ia
menarik pintu itu membuka. Pintu itu membentur sesuatu, yang disusul pekikan
seorang wanita.
Kazuto membuka pintunya lebar-lebar dan mengerjapkan mata, silau karena
dihadapkan pada terangnya lampu di koridor. Kemudian ia melihat seorang gadis
berambut hitam panjang tersungkur di lantai di hadapannya sambil merintih pelan.
Sepertinya sentakannya membuka pintu membuat gadis itu terjatuh. Dan sudah pasti
gadis itulah yang memekik tadi. Kini gadis itu mengucapkan serentetan kata yang tidak
dipahaminya.
Tiba-tiba gadis itu mendongak dan menatap Kazuto. Mata gadis itu terbelalak
kaget. Sesaat Kazuto merasa gadis itu bukan orang Jepang. Mata gadis itu besar dan
bulat, tidak seperti mata orang Jepang pada umumnya, apalagi tadi gadis itu
mengatakan sesuatu dalam bahasa yang sudah jelas bukan bahasa Jepang. Kazuto
bingung. Otaknya masih bekerja lebih lambat daripada biasa.
“Kau tidak apa-apa?” Kazuto mendapati dirinya bersuara. Suaranya terdengar
serak di telinganya sendiri. Dan ia mengatakannya dalam bahasa Jepang. Apakah gadis
itu mengerti?
Ia tidak sempat mendengar jawaban gadis itu, karena mendadak keadaan
sekelilingnya menjadi riuh. Bunyi pintu-pintu membuka, lalu berbagai seruan yang
terdengar tumpang-tindih.
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
“Suara apa itu?”
“Siapa yang berteriak?”
“Ada pencuri? Pencuri?”
“Keiko-chan? Kaukah itu?”
“Keiko Oneesan?”
“Tomoyuki! Ayo, kita naik.”
“Mana tongkat bisbolku?”
“Pakai dulu jaketmu.”
“Jaketku?”
“Bu, kau tunggu di sini saja.”
“Hati-hati!”
Dalam sekejap mata, tiga orang bermunculan di depan Kazuto. Ia hanya bisa
mengerjap-ngerjapkan mata memandang dua pria dan satu wanita yang menyerbu
koridor sempit di lantai dua itu. Mereka balas menatapnya dengan heran. Kini, selain
gadis bermata besar yang masih terduduk di lantai, ada seorang pemuda bertubuh
kurus berambut agak gondrong yang megacungkan tongkat bisbol, seorang wanita
berambut pirang pendek, lalu seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih.
“Keiko, apa yang terjadi?” pekik si wanita berambut pirang sambil menghampiri
gadis yang terduduk di lantai. “Kau baik-baik saja?”
Gadis yang dipanggil Keiko itu melongo sesaat, lalu cepat-cepat menjawab, “Oh,
Haruka Oneesan. Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Oke, gadis bernama Keiko itu bisa berbahasa Jepang, pikir Kazuto tanpa sadar.
Sepertinya dia memang orang Jepang.
Si pemuda kurus dan berambut gondrong membantu Keiko berdiri dengan sebelah
tangan, sementara tangannya yang lain masih mencengkeram tongkat bisbol dengan
erat. Ia menatap Kazuto yang masih tertegun. “Anda siapa? Keiko Oneesan, apakah
orang ini macam-macam terhadapmu?”
Kazuto terkejut. Nah, tunggu sebentar! Macam-macam? Tunggu dulu...
“Sabar, Tomoyuki,” sela orang tua berambut putih yang berdiri di samping si
pemuda yang mengacungkan tongkat bisbol. Kakek tua itu menatap Kazuto dengan
mata disipitkan, lalu berkata pendek, “Tolong perkenalkan dirimu, Anak muda.”
Kazuto menelan ludah. Tenggorokannya sakit dan ia ingat tadi ia belum sempat
minum. Ia berdeham sejenak, lalu berkata datar, “Nama saya Nishimura Kazuto. Saya
baru pindah ke apartemen ini.”
“Oh? Si orang baru?” tanya pemuda yang tadi dipanggil Tomoyuki. “Tadi pagi aku melihatmu datang.”
Kazuto melihat tongkat bisbol yang tadinya terangkat tinggi itu kini diturunkan. Ia
berkata, “Saya baru tiba di Tokyo dengan pesawat pagi tadi. Karena tidak enak badan
saya langsung tertidur begitu tiba di apartemen. Saya minta maaf karena tidak sempat
memperkenalkan diri lebih awal.”
“Sudah kubilang orang baru itu tidak keluar-keluar sejak masuk tadi pagi,” kata
wanita berambut pirang yang berdiri di samping Keiko. Wanita itu bertanya lagi
dengan nada curiga, “Lalu sejak tadi pagi kau tidur terus di dalam?”
“Benar,” sahut Kazuto.
“Lalu apa yang terjadi di sini?” Si kakek tua kembali bertanya sambil memandang
Kazuto dan Keiko bergantian. Perhatian Kazuto kembali terarah kepada Keiko yang terlihat serbasalah. Gadis itu
bersedekap dan mengangkat bahu dengan salah tingkah. “Kakek, itu... Itu, ehm...
Maksudku, aku hanya khawatir,” katanya terbata-bata. Ia melihat ke sekeliling dan
menyadari orang-orang di sana masih menunggu penjelasannya, karena itu ia
melanjutkan, “Aku dengar dari Haruka Oneesan,” ia menatap wanita berambut pirang
itu sekilas, “sudah ada yang menempati apartemen 201 dan orang itu belum keluar dari
kamar sejak pagi. Dan aku tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Jadi kupikir...,”
suaranya semakin lirih dan ia tersenyum kikuk, “...mungkin oran gitu sakit, atau, eh,
jatuh pingsan.”
Kazuto berusaha menahan senyum mendengar penjelasan gadis itu.
“Lalu ketika aku sedang mencoba mendengarkan suara dari balik pintu, orang—eh,
Nishimura-san tiba-tiba membuka pintu dan membuatku terkejut. Dan aku terjatuh.”
Keiko berdeham di akhir penjelasannya. “Begitulah.”
Seketika itu juga suasana tegang di koridor lantai dua mencair.
“Ya ampun, Keiko. Kau membuat kami kaget sekali tadi,” kata wanita berambut
pirang yang bernama Haruka sambil mengguncang lengan Keiko.
“Maafkan aku,” gumam Keiko lirih sambil membungkuk beberapa kali, lalu
melirik Kazuto sekilas dan membungkuk badan lagi.
“Sebaiknya kita saling memperkenalkan diri,” kata Tomoyuki sambil memandang
Kazuto. “Namaku Sato Tomoyuki dan ini kakakku, Sato Haruka.” Ia menunjuk wanita
berambut pirang yang kini tersenyum manis kepada Kazuto.
“Kami tinggal di bawah, di apartemen 102,” Haruka menambahkan.
Kazuto membungkuk dan menyambut uluran tangan kakak-beradik Sato. “Mohon bantuannya.”
“Anak-anak ini biasanya memanggilku Kakek Osawa,” si kakek tua memperkenal-
kan diri sambil tersenyum lebar. Walaupun kulitnya sudah keriput, Kakek Osawa
ternyata masih memiliki deretan gigi yang rapi. “Aku tinggal bersama istriku di bawah.”
Setelah itu pandangan semua orang terarah kepada Keiko yang tetap diam. Keiko
tersadar dan buru-buru membungkuk dalam-dalam, lalu berkata dengan agak tergagap,
“Namaku Ishida Keiko. Salam kenal. Aku minta maaf soal... soal kejadian tadi.”
Kazuto tersenyum. “Tidak usah dipikirkan. Aku juga minta maaf karena
membuatmu terkejut.”
“Selamat bergabung bersama kami, Nishimura-san,” kata Kakek sambil menepuk
bahu Kazuto. “Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu-ragu mengatakannya.”
Inilah pertama kali Kazuto menginjakkan kaki kembali di Tokyo setelah pindah ke
New York bersama keluarganya bertahun-tahun yang lalu. Kali ini ia kembali bukan karena rindu pada kampung halaman. Ia hanya ingin pergi jauh dari New York untuk
sementara waktu. Dan Tokyo adalah kota pertama yang terlintas dalam benaknya.
Kini Kazuto memandang orang-orang yang berdiri mengelilinginya dan yang balas
memandangnya dengan tatapan penuh minat dan senyum ramah. Tiba-tiba saja ia
sadar ia takkan bisa mendapat ketenangan yang diinginkannya. Tetapi entah kenapa ia
merasa hidupnya takkan pernah sama lagi.
Dua
KEIKO berdiri di koridor lantai dua gedung perpustakaan tempatnya bekerja, di
samping mesin penjual kopi yang—mengikuti tema bulan Desember—tiba-tiba saja
sudah dipenuhi hiasan Natal. Keiko memegang cangkir kertas berisi kopi panas dengan
sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegang ponsel yang ditempelkan ke
telinga.
“Ya, aku akan pulang pada Hari Natal,” katanya di ponsel sambil memandang ke
luar jendela kaca besar yang menghadap halaman depan gedung perpustakaan.
“Kau akan tinggal di sini sampai setelah Tahun Baru, bukan?” Suara berat ayahnya
terdengar di ujung sana.
“Tentu saja,” sahut Keiko sambil menyesap pelan kopinya. “Ngomong-ngomong,
Pa, Mama masih di Jakarta?”
Sejak kecil ia selalu memanggil orangtuanya dengan Papa dan Mama, bukan
Otousan4 dan Okaasan5. Ia juga tidak yakin kenapa. Mungkin karena didikan ibunya
yang orang Indonesia, tetapi ayahnya juga tidak keberatan.
Sebenarnya ibunya sendiri juga blasteran Indonesia-Jepang. Kakeknya dari pihak ibu adalah orang Indonesia dan neneknya orang Jepang. Sedangkan ayah dan ibu
Keiko awalnya tinggal di Tokyo, lalu tiga tahun lalu mereka pindah ke Kyoto,
kampung halaman ayahnya, untuk mencari suasana yang lebih tenang. Ayahnya
memang tidak pernah terbiasa dengan hiruk-pikuk kota Tokyo.
“Ya, tapi ibumu akan pulang minggu ini,” sahut ayahnya. “Katanya kesehatan
kakekmu sudah membaik.”
“Baguslah,” kata Keiko sambil mengangguk-angguk.
4 Ayah
5 Ibu
Minggu lalu ibunya pulang ke Jakarta karena mendengar kakek Keiko harus
menjalani operasi usus buntu, tetapi operasinya berhasil dengan baik dan kakeknya
sudah sehat kembali.
Setelah meyakinkan ayahnya bahwa ia akan melewatkan Tahun Baru di Kyoto,
Keiko menutup ponsel dan mengantonginya. Baru saja ia hendak menyesap kopinya,
ponselnya bergetar. Ia mengeluarkannya dan melihat tulisan yang muncul di layar.
“Moshimoshi? Tomoyuki-kun, ada apa?” kata Keiko begitu ponsel ditempelkan ke
telinga.
“Keiko Oneesan, punya waktu malam ini?” Terdengar suara ceria Tomoyuki di
ujung sana.
“Memangnya ada apa malam ini?”
“Haruka Oneechan, aku, dan Kazuto Oniisan6 mau pergi minum-minum malam ini,”
jelas Tomoyuki. “Anggap saja sebagai pesta kecil-kecilan menyambut tetangga baru.
Sebelum itu kita akan makan malam bersama di tempat Kakek dan Nenek Osawa.”
Mendengar nama Nishimura Kazuto, pikiran Keiko langsung melayang ke
kejadian kemarin malam dan tiba-tiba pipinya terasa panas. Ia memejamkan mata
rapat-rapat, berusaha mengusir kenangan memalukan itu. Astaga! Tetangga barunya
pasti menganggap dirinya semacam penguntit psycho atau tukang intip...
“Oneesan?”
Lamunannya buyar dan Keiko berusaha memusatkan perhatiannya kepada
Tomoyuki. “Ya? Maaf, apa katamu tadi?”
“Jadi bagaimana? Oneesan bisa ikut?”
“Malam ini tidak bisa,” kata Keiko setelah berpikir sesaat. “Seorang rekan kerjaku
berulang tahun dan dia mengajak kami pergi makan dan karaoke. Aku sudah janji akan
ikut.”
“Oh?” Suara Tomoyuki terdengar agak kecewa.
“Ishida-san.”
Keiko menoleh ke arah suara wanita yang memanggilnya. Ia melihat salah seor
rekan kerjanya melambai ke arahnya. Di sampingnya berdiri seorang wanita beram
pirang. Orang asing, pikir Keiko langsung. Di perpustakaan itu hanya Keiko satu
satunya karyawan yang bisa berbahasa Inggris, jadi secara tidak langsung ia yang
selalu diminta melayani pelanggan asing yang tidak bisa berbahasa Jepang.
“Maaf, Tomoyuki-kun, aku harus kembali bekerja sekarang,” kata Keiko cepat.
“Kalian saja yang pergi hari ini. Mungkin aku akan ikut lain kali. Maaf ya?”
6 Panggilan untuk pria yang lebih tua, kakak.
Setelah berkata begitu, ia menutup ponsel, membuang cangkir kertas bekas kopinya ke
tong sampah di dekat sana, lalu berlari-lari kecil menghampiri rekan kerjanya yang
sudah menunggu.
* * *
Keiko menggigil. Uap putih keluar dari mulutnya setiap kali ia mengembuskan napas.
Ia melirik jam tangan. Sudah hampir tengah malam. Ternyata ia dan rekan-rekan
kerjanya sudah menyanyi berjam-jam di karaoke. Ia berdeham. Kerongkongannya agak
sakit karena terlalu banyak menyanyi. Sewaktu sedang sibuk menyanyi ia tidak merasa
lelah, tetapi sekarang tubuhnya terasa pegal dan matanya berat. Ia hanya ingin cepat-
cepat sampai di rumah dan tidur.
Sambil bersenandung pelan, ia menyusuri jalan kecil yang agak menanjak menuju
gedung apartemennya. Jalan kecil itu sepi dan hanya diterangi lampu jalan yang
remang-remang.
Lalu ia mendengar suara itu. Suara langkah kaki di belakangnya. Keiko terkesiap
pelan dan menelan ludah. Ia berusaha menenangkan diri. Mungkin ia salah dengar.
Keiko tetap berjalan—walaupun langkahnya tanpa sadar semakin cepat—dan
memasang telinga. Benar! Ada orang di belakangnya!
Lalu memangnya kenapa kalau ada orang lain yang juga berjalan di jalan itu?
Memangnya jalan itu milikku sendiri? Keiko menggerutu dalam hati, menyesali sifatnya yang mudah panik. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Yakinkan diri terlebih
dahulu.
Diam-diam Keiko berusaha melirik ke balik bahunya. Ia tidak berhasil melihat
banyak. Ia hanya menangkap sosok seseorang yang berjalan tidak jauh di belakangnya.
Bulu kuduknya meremang. Rasa panik mulai menyerang tanpa memedulikan bantahan
akal sehat. Sementara ia mempercepat langkah, napasnya mulai memburu dan pikiran-
pikiran buruk mulai berseliweran di benaknya.
Langkah kaki orang di belakangnya juga terdengar semakin cepat. Orang jahat?
pikir Keiko panik. Pemabuk? Atau lebih buruk lagi, pemerkosa?! Ya Tuhan, lindungilah
diriku. Kejahatan di jalan-jalan sepi bukan hal baru lagi di kota besar seperti Tokyo.
Keiko langsung memanjatkan doa dalam hati. Kemungkinan lain terselip di otaknya.
Jangan-jangan... penguntit? Ini bukan pertama kalinya Keiko dikuntit. Pengalaman itu
membuatnya trauma.
Itu dia! Gedung apartemennya sudah terlihat. Keiko lega sekali. Ia nyaris berlari,
tapi kakinya terlalu kaku untuk bergerak lebih cepat lagi. Tiba-tiba...
“Hei...” Terdengar suara rendah seorang laki-laki di belakangnya dan Keiko
merasa bahunya dipegang. Kepanikannya meledak. Ia berputar dengan cepat sambil
mengayunkan tas tangannya ke arah orang itu. Ia juga tidak lupa menjerit keras.
Tas tangannya mengenai sisi tubuh orang itu dengan bunyi gedebuk keras. Keiko
mengayunkan tasnya sekali lagi dan...
“Tunggu sebentar... Ini aku. Ini aku!”
Keiko menghentikan ayunan lengannya dan melotot galak ke arah laki-laki yang
mengangkat kedua tangan ke depan wajah untuk melindungi diri. Perlahan-lahan
orang itu menurunkan tangan dan Keiko baru melihat wajahnya dengan jelas.
“Nishimura-san?” kata Keiko dengan suara tercekik. Matanya terbelalak.
Walaupun tetangga barunya itu masih tergolong orang asing, tapi setidaknya Keiko
mengenalnya. Debar jantungnya yang liar pun agak mereda. “Astaga, kenapa kau
mengendap-endap begitu?”
Nishimura Kazuto terlihat berbeda hari ini. Penampilannya lebih rapi daripada
kemarin. Dan ia sudah bercukur. Keiko jadi menyadari sebenarnya Kazuto masih muda.
Wajahnya menarik dan berkesan kebarat-baratan.
Nishimura Kazuto memasukkan kedua tangan ke saku jaket panjangnya. Ia balas
menatap Keiko dengan raut wajah kaget. “Aku tidak mengendap-endap. Bukankah tadi
aku memanggilmu? Justru kau yang langsung menghantamku dengan tas,” katanya,
membuat wajah Keiko terasa panas karena malu. Suara pria itu terdengar lebih jelas
hari ini, tidak serak seperti kemarin. Ia mengeluarkan sebelah tangan dari saku jaket dan menunjuk tas tangan Keiko. “Ngomong-ngomong, kurasa kau sudah boleh
menurunkan tasmu itu.”
Kepala Keiko berputar ke samping, ke arah tangannya yang masih mengacungkan
tasnya tinggi-tinggi. Ia yakin wajahnya sudah berubah merah padam. Ia cepat-cepat
menurunkan tangan dan berkata dengan gelagapan, “Tapi kau tadi memang
mengendap-endap. Kau tahu...”
Saat itu pintu rumah di sebelah kanan mereka terbuka dan seorang wanita tua
melongokkan kepalanya ke luar. Ia menatap Keiko dan Kazuto bergantian lalu
bertanya dengan kening berkerut, “Kalian baik-baik saja? Tadi aku mendengar ada
yang menjerit.”
“Tidak apa-apa. Maafkan kami karena sudah mengganggu,” kata Kazuto cepat
sambil membungkuk.
Keiko juga buru-buru melakukan hal yang sama sambil meminta maaf.
Wanita tua itu berdecak pelan. “Ada-ada saja anak muda zaman sekarang.” lalu
pintu kembali tertutup.
Keiko memejamkan mata, menarik napas panjang, dan mengembuskannya dengan
pelan untuk menenangkan diri. Kemudian ia berbalik dan berjalan tegak meninggalkan
Kazuto yang tertawa pelan.
“Tunggu aku,” kata laki-laki itu di sela-sela tawanya dan menyusul Keiko.
“Menurutmu ini lucu?” tanya Keiko dengan alis terangkat. “Kau tadi membuatku
ketakutan. Kukira kau perampok. Atau penguntit. Atau... semacam itu.”
“Penguntit?”
Keiko ragu sejenak. Lalu, “Ya. Memangnya kenapa? Banyak penguntit di Tokyo,
kau tahu? Ngomong-ngomong, kau baru minum-minum bersama Haruka Oneesan dan
Tomoyuki, bukan?”
“Ya, benar,” sahut Kazuto. Ia tahu Keiko sedang mengalihkan pembicaraan, tapi ia
tidak ingin mempermasalahkannya walaupun sebenarnya ia ingin tahu alasan di
baliknya. “Setelah makan malam bersama Kakek dan Nenek Osawa, mereka
mengajakku minum-minum di izakaya7 langganan mereka.”
“Aku minta maaf karena tidak bisa ikut,” kata Keiko sambil menoleh ke arah
Kazuto.
Kazuto tersenyum. “Tidak apa-apa. Tomoyuki tadi bilang kau ikut merayakan
ulang tahun rekan kerjamu.”
“Mm,” gumam Keiko, lalu bertanya, “Lalu kenapa kalian bertiga tidak pulang
bersama?”
Kazuto mengangkat bahu. “Sepertinya mereka punya acara lain dengan teman-
teman mereka.”
Keiko mengangguk-angguk. Haruka dan Tomoyuki memang sering berkumpul
bersama teman-teman mereka setiap akhir pekan. Mereka tidak akan pulang sebelum lewat tengah malam.
Mereka berjalan bersama dalam keheningan selama beberapa detik, lalu Kazuto
membuka suara, “Kurasa Tokyo sudah banyak berubah.”
Keiko meliriknya sekilas dengan alis terangkat.
Kazuto tersenyum melihat raut wajah tetangganya yang heran. “Keluargaku
pindah ke New York lebih dari sepuluh tahun yang lalu,” jelasnya. “Ini pertama
kalinya aku kembali ke Tokyo sejak kami pindah.”
“Oh, New York?” gumam Keiko.
“Kenapa?” tanya Kazuto. “Kau pernah ke sana?”
Keiko menggeleng-geleng dan tertawa pelan. “Tidak, tidak. New York kedengaran-
nya jauh sekali.” Kemudian ia melirik teman seperjalanannya dan tidak bisa menahan
diri untuk berkomentar, “Tapi bahasa Jepang-mu bagus.”
7 Bar Jepang
“Tentu saja,” kata Kazuto tegas. “Walaupun tinggal di luar negeri, kami masih
berkomunikasi dalam bahasa Jepang.”
Keiko tersenyum mengerti. “Sama seperti keluargaku.” Melihat Kazuto tidak
mengerti maksudnya, ia menjelaskan, “Aku berbicara dalam bahasa Indonesia dengan
ibuku.”
“Ibumu orang Indonesia?” tanya Kazuto. Ia sudah menduga gadis itu tidak terlalu
mirip orang Jepang. Apalagi ketika mereka pertama kali bertemu, gadis itu
mengucapkan serentetan kata yang tidak dipahaminya.
Keiko mengangguk. “Nenekku dari pihak Ibu adalah orang Indonesia dan kakekku
orang Jepang. Ibuku dilahirkan dai dibesarkan di Indonesia. Lalu Ibu pindah ke Jepang
setelah menikah dengan Ayah, jadi aku lahir di sini. Tapi aku sangat lancar berbahasa
Indonesia, kau tahu? Ibuku mengajariku sejak kecil.”
Mereka tiba di gedung apartemen dan berjalan menaiki tangga. Ketika Keiko sudah
sampai di depan pintu apartemennya, ia berbalik menghadap Kazuto yang ada di
belakangnya. “Bahumu... sakit tidak?”
Kazuto menggerak-gerakkan bahunya sejenak, lalu tersenyum lebar. “Kurasa tidak
apa-apa,” sahutnya ceria, “aku tidak akan lumpuh walaupun tadi kau menghajarku
keras sekali dengan tasmu yang berat itu. Apa isinya? Batu?”
Keiko tersenyum malu dan mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.
Alis Kazuto terangkat. “Oh, Les Miserablés,” katanya, menyebut judul aslinya
setelah membaca judul dalam tulisan Jepang yang tercetak di buku yang dipegang
Keiko.
“Kau tahu buku ini?” tanya Keiko heran. Tidak banyak orang yang tahu dan
membaca karya sastra klasik.
Kazuto mengabil buku itu dari tangan Keiko dan membuka-buka halamannya.
“Aku pernah membacanya,” katanya. “Tapi aku baru tahu buku itu juga dijemahkan ke
dalam bahasa Jepang.”
“Kau membaca versi aslinya?” tanya Keiko kagum.
Kazuto mengangkat wajah dari buku itu. “Apa? Oh, tidak. Yang kubaca adalah
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Aku tidak bisa berbahasa Prancis.”
Ia mengembalikan buku itu kepada Keiko. “Kau?”
Keiko menggeleng. “Bahasa Prancis-ku sangat payah. Dulu masih ada Tatsuya-san
yang bisa mengajariku bahasa Prancis. Sekarang aku terpaksa belajar sendiri, dan
sering kali aku tidak punya waktu untuk itu.”
“Tatsuya-san?”
“Dia orang yang dulu tinggal di apartemen yang kautempati sekarang. Orang yang
sangat baik. Dia sudah beberapa kali pergi ke Paris dan selalu membawakan kami hadiah kalau pulang dari sana. Sewaktu terakhir kali kembali dari Paris, dia juga
membawakan CD lagu Prancis untukku, walaupun saat itu dia sedang punya banyak
masalah8 ,” kata Keiko sambil melamun. Lalu ia mendesah keras, “Kadang-kadang aku
merindukannya.”
“Kalian berdua sangat dekat?”
Mata Keiko beralih ke wajah Kazuto. “Dekat? Maksudmu seperti...? Oh, tidak.
Hubungan kami tidak seperti itu.” Lalu ia mengucapkan kalimat berikut dalam bahasa
ibunya tanpa sadar. “Jalan pikirannya aneh sekali, orang ini.”
“Lagi-lagi mengomel dalam bahasa asing,” gumam Kazuto sambil tersenyum.
Kemudian ia menatap langsung ke mata Keiko dan berkata, “Kau gadis yang menarik,
Ishida Keiko.”
Mata Keiko melebar menatap laki-laki yang berdiri di depannya. Pasti ia salah
dengar. Kazuto bilang apa tadi? Dia gadis yang menarik? Menarik dalam arti apa?
Menarik dalam arti “menyenangkan”? Atau...? Tetapi mereka baru saling mengenal,
jadi tidak mungkin menarik dalam arti yang lebih dalam dan rumit dan membingung-
kan, bukan?
Kemudian Kazuto memiringkan kepala dan keningnya berkerut samar. “Seperti-nya aku pernah melihatmu sebelum ini,” gumamnya.
Seketika itu juga ekspresi wajah Keiko berubah santai dan ia tersenyum mengerti.
“Aah... Aku tahu maksudmu.”
“Apa?”
“‟Sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini,‟” ulang Keiko, lalu menoleh ke
arah Kazuto. “Sudah ribuan kali aku mendengar kalimat itu. Yang kaumaksud pasti
Naomi.”
Alis Kazuto terangkat tidak mengerti. “Naomi?”
“Naomi model yang lumayan terkenal di sini. Kau pasti pernah melihatnya di
majalah dan televisi,” jelas Keiko.
Kazuto tertawa kecil. “Maksudmu, wajahmu mirip model terkenal?” tanyanya geli.
“Apa? Bukan, bukan!” Keiko tertawa. “Naomi itu saudara kembarku. Orang-orang
sering salah mengenaliku sebagai Naomi. Pemabuk yang dulu menguntitku juga
begitu.”
“Oh? Kau punya saudara kembar?” gumam Kazuto heran, lalu terdiam sejenak
dan menambahkan, “Apa maksudmu dengan pemabuk yang menguntitmu?”
Wajah Keiko memerah. Ia menjawab agak tergagap. “Kejadiannya sudah cukup
lama. Dia salah mengenaliku sebagai Naomi.” Sebelum Kazuto sempat bertanya lebih
8 Baca Autumn in Paris
jauh, ia buru-buru menambahkan, “Tapi semuanya baik-baik saja, jadi tidak ada yang
perlu dibesar-besarkan.”
Sejenak Kazuto tidak berkata apa-apa, seakan sedang berpikir, lalu ia berkata pelan,
“Jadi kau punya saudara kembar?”
Keiko mengembuskan napas, merasa lega karena Kazuto tidak mendesaknya. “Ya.
Dia lahir lebih dulu, aku lima menit kemudian. Wajah kami sama persis, hanya gaya
rambut kami yang berbeda, lalu dia punya tahi lalat kecil di hidung dan dia sedikit
lebih tinggi dariku. Sifat kami berdua memang tidak sama, tapi juga tidak benar-benar
bertolak belakang. Kami tinggal bersama di sini sampai dia pindah ke luar negeri
musim panas tahun lalu karena ada kontrak kerja,” jelasnya tanpa ditanya. Ia sudah
terlalu sering menjawab berbagai pertanyaan dari orang-orang yang salah
mengenalinya sebagai Naomi. Karena sudah tahu pertanyaan-pertanyaan yang selalu
ditanyakan, kini ia cenderung langsung mengatakan segalanya sebelum ditanya. “Oh,
sebelum kau bertanya, tidak, kami tidak bisa bertelepati atau semacamnya, walaupun
kami memang dekat. Kadang-kadang aku bisa merasakan apa yang dia rasakan dan
begitu juga sebaliknya, tapi hanya sebatas itu. Kami bukan cenayang. Dan satu lagi, aku
tidak ikut menjadi model karena aku memang tidak bercita-cita menjadi model.”
Kazuto tersenyum mendengar penjelasan panjang-lebar itu. Punggungnya
disandarkan ke pintu dan kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket. Kemudian ia
tertawa. “Jadi kau bukan cenayang dan kau tidak mau menjadi model. Ada lagi yang
harus kuketahui?”
Sesaat Keiko menatap laki-laki di hadapannya dengan bingung, lalu wajahnya
memerah. “Tidak ada. Maafkan aku karena sudah terlalu banyak bicara.” Ia menggigil
dan baru menyadari mereka sudah terlalu lama berdiri di luar pintu seperti ini. “Dingin
sekali,” katanya cepat. “Kalau begitu, selamat malam.”
Kazuto tersenyum. “Selamat malam.”
Sebenarnya kemungkinan Kazuto pernah melihat Naomi di majalah atau televisi
sangat kecil. Kazuto sudah tinggal di luar negeri selama hampir separo hidupnya dan
ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang artis atau model Jepang.
_Bersambung_